NELANDRA
(Kisah
Gadis Disabilitas dengan Lelaki Sederhana)
Karya
: Aira Amelia Indrawan (9A)
Hari itu, semua orang menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan iba yang membuatku merasa sangat ingin menunduk lebih dalam. Tapi di antara ratusan mata yang melihatku dengan kasihan, hanya satu pasang mata yang berbeda. Mata itu menatapku seolah aku sama seperti yang lain. Dan entah kenapa, tatapan itu terasa seperti rumah.
Namanya Keandra Adipta. Lelaki sederhana yang datang ke sekolah musik bukan untuk belajar, tapi untuk memperbaiki piano rusak di ruang latihan. Tangannya kasar, tapi caranya menyentuh tuts piano begitu hati-hati, seolah takut menyakiti bunyinya. Dari caranya memperlakukan benda mati, aku tahu dia punya hati yang hidup.
Aku, Nelia Keishani, tidak bisa berjalan sejak kecil. Kursi roda adalah kaki yang tak pernah kulupakan. Ayah bilang aku beruntung masih punya segalanya: rumah besar, alat musik mahal, bahkan pelatih pribadi. Tapi tidak ada yang tahu, semua itu kadang membuatku merasa seperti burung di sangkar emas.
Hari itu, ketika semua orang pergi setelah latihan piano, Keandra masih di ruangan itu, memperbaiki piano. Aku menatap punggungnya lama, lalu tanpa sadar aku bertanya.
"Apakah
kau suka suara piano?"
Keandra menoleh sebentar dan tersenyum. "Aku tidak tahu. Aku hanya suka melihat seseorang bahagia saat memainkannya."
Entah kenapa, kalimat itu terasa lebih indah dari semua lagu yang pernah kupelajari.
Sejak hari itu, ia sering datang. Kadang hanya untuk memperbaiki hal kecil yang bahkan tidak rusak. Kadang hanya untuk duduk dan mendengarkan. Kami berbagi cerita sederhana tentang musik, hujan, dan hidup yang tidak selalu adil. Tapi dari semua cerita itu, aku paling ingat satu hal: ia tidak pernah menatap kursi rodaku lebih lama dari mataku.
Hari demi hari berlalu. Aku mulai menunggu suara langkahnya di lorong. Kadang, ia datang membawa bunga liar yang tumbuh di belakang gedung sekolah musik, kadang hanya membawa cerita tentang dunia luar yang tak pernah sempat kudatangi. Aku belajar bahwa kebahagiaan ternyata sesederhana duduk di kursi roda sambil mendengarkan seseorang bercerita.
Suatu sore, aku mencoba memainkan lagu yang belum selesai kutulis. Jari-jariku bergetar di atas tuts piano. Keandra berdiri di belakangku, memperhatikan dalam diam.
"Lagunya
tentang apa?"
tanyanya pelan.
"Tentang seseorang yang datang tanpa janji," jawabku, "tapi membuat dunia jadi lebih berarti."
Ia tidak menjawab. Tapi dari caranya menatap, aku tahu ia mengerti apa yang aku ucapkan.
Beberapa minggu kemudian, Keandra jarang datang. Ayah memperkerjakan tukang baru di sekolah musik, katanya Keandra harus kembali membantu keluarganya di desa. Hari terakhir ia datang, ia menyerahkan sebuah kertas kecil, dilipat rapi, lalu berkata,
"Kalau lagu itu selesai, mainkan untukku."
Aku hanya mengangguk, meski hatiku menolak.
Waktu berjalan seperti melodi lambat. Aku menyelesaikan lagu itu sendirian. Lagu tanpa lirik, tapi penuh nama yang tak pernah kuucap keras-keras. Setiap nadanya mengingatkanku pada seseorang yang selalu datang dengan senyuman yang hangat.
Beberapa
bulan kemudian, aku mendapat kabar Keandra jatuh sakit dan tak sempat kembali.
Surat yang ia kirim tiba seminggu setelahnya. Tulisannya goyah dan samar,
seolah ditorehkan dengan sisa tenaga terakhir. Surat itu berisi:
"Terima kasih karena kau mengajariku cara mendengar dunia tanpa harus memiliki apa-apa. Dunia kita memang berbeda, tapi musik yang kau mainkan selalu membuatku merasa di tempat yang sama."
Aku menangis tanpa suara. Surat itu kusimpan di bawah piano yang dulu sering ia perbaiki. Tapi aku menyadari di ujung kertasnya, ada satu kata yang ia tulis dengan huruf besar:
"NELANDRA."
Aku
tak langsung paham. Tapi ketika kucerna lagi huruf-huruf itu, aku tahu, itu
gabungan dari namaku dan namanya: Nelia dan Keandra.
Nama
yang tidak dimiliki siapa pun selain kami.
Sejak
saat itu, setiap kali aku memainkan lagu itu, aku menamai lagunya 'NELANDRA'.
Karena
di dalam nada-nada itu, aku dan dia masih ada.
Bukan
dalam wujud, tapi dalam rasa.
Dan
mungkin, itu cara terbaik untuk tetap hidup di hati seseorang yang tak pernah
berhenti mendengarkan.
Pesan
moral:
Jangan
pernah membeda-bedakan sesama manusia. kisah nelia dan keandra mengajarkan
bahwa kita harus menghargai dan menghormati sesama manusia tanpa melihat
kondisi fisik dan status sosialnya. karena, setiap manusia mempunyai
keistimewaan nya masing masing
Dapat dibaca juga pada Link :Cerpen Aira Amelia
1 Komentar
Sangat menyentuh. Semangat terus berkarya
BalasHapus