PERTEMANAN
Karya: Regina Sania Khoirunnisa (7H)
Ilustrasi
Pagi itu, aku berangkat ke sekolah seperti biasanya. Udara masih
segar, embun menempel di dedaunan, dan sinar matahari pagi mulai menembus celah
pepohonan di pinggir jalan. Di perjalanan aku berpapasan dengan beberapa
orang yang aku kenal, dan seperti biasa aku menyapa mereka dengan senyum.
“Halo, teman-teman!” sapaku ceria.
Mereka membalas dengan senyum hangat. Aku menyimpan tas ranselku di kursi, lalu
duduk sambil memandangi langit-langit kelas. Entah kenapa, tiba-tiba
pikiranku melayang.
Di kantin, aroma gorengan dan mie instan bercampur dengan suara riuh
anak-anak yang berebut tempat duduk. Setelah membeli makanan, kami kembali
ke kelas dan duduk lesehan sambil makan bersama.
“Perasaan baru kemarin kita kenalan waktu MPLS,” saut yang lain, “eh sekarang
udah hampir lulus aja.”
“Kamu ngomong gitu, tapi pas minggu kemarin kita ngajak main, kamu malah gak
dateng. Katanya sibuk.”
Aku terdiam. “Iya, Rin… maaf, waktu itu aku lagi bantu ibu di rumah. Aku
bukan maksud ninggalin kalian.”
Rina menunduk. “Ya udah, aku cuma kangen aja. Soalnya bentar lagi kita udah
gak sekelas lagi.”
Aku menatapnya dan tersenyum kecil. “Makasih udah ngingetin. Aku janji,
mulai sekarang aku gak mau nyia-nyiain waktu sama kalian.”
“Setujuuu!” jawab mereka serempak.
Serindu apapun kita pada seseorang, kalau masanya sudah habis… mau bagaimana
lagi? Dulu aku pikir komunikasi itu hal sepele, tapi kini aku sadar, menjaga
hubungan itu butuh niat dan waktu.
Sesampainya di sekolah, sudah terlihat beberapa teman sekelasku yang
datang lebih awal.
“Mengapa di kehidupan ini kita harus merasakan yang namanya
perpisahan?” gumamku dalam hati. Kata orang, setiap masa ada orangnya, dan
setiap orang ada masanya. Mungkin benar juga.
Bel masuk berbunyi. Semua teman sekelasku berdatangan dan duduk di
bangku masing-masing. Jam pelajaran pertama adalah Ilmu Pengetahuan Sosial.
Hari itu, Bu Guru menjelaskan tentang perubahan sosial — bagaimana
masyarakat dan nilai-nilainya terus berubah seiring waktu.
“Apakah ada yang ingin bertanya?” tanya Bu Guru usai menjelaskan.
Aku pun mengangkat tangan. “Bu, apa maksud dari peribahasa setiap
masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya?” tanyaku pelan.
Bu Guru tersenyum, lalu menjawab, “Pertanyaan yang menarik. Peribahasa
itu mengingatkan bahwa setiap orang punya waktunya sendiri untuk berperan dan
berkontribusi. Setiap masa akan melahirkan orang-orang baru yang membawa
perubahan. Artinya, perubahan adalah hal yang wajar, dan setiap orang memiliki
masanya sendiri untuk bersinar.”
Aku mengangguk pelan. Jawaban itu terasa menancap dalam pikiranku.
Bel istirahat pun berbunyi. Teman-temanku mengajakku ke kantin. Kami
berjalan bersama sambil tertawa, seolah semua beban sekolah hilang begitu saja.
Tiba-tiba, salah satu temanku berkata, “Gak kerasa ya, kita udah kelas
sembilan. Sebentar lagi bakal pisah.”
Aku tersenyum, lalu berkata, “Makanya, selagi masih di sekolah yang
sama, kita harus manfaatin waktu bareng-bareng. Soalnya nanti kalau udah lulus,
susah banget buat kumpul begini lagi.”
Teman-temanku terdiam sejenak, lalu mengangguk. Suasana mendadak
hening.
Namun tiba-tiba, Rina — salah satu teman dekatku — menatapku agak
kesal.
Hening sejenak berubah menjadi tawa ringan. “Kalau gitu weekend
nanti kita ke taman kota, setuju?” seruku.
Suasana kembali hangat. Kami saling bercanda, tertawa lepas, seolah tak
ada beban perpisahan yang menghantui.
Tapi di sela tawa itu, aku teringat teman-teman lamaku semasa SD.
Entah di mana mereka sekarang, apakah masih mengingatku?
“Kalau bukan kita yang inisiatif, gak akan ada perubahan,” pikirku
dalam hati. “Kita ini makhluk sosial, harus saling bergaul sebelum waktu
memisahkan.”
Aku menatap wajah teman-temanku satu per satu. Dalam hati aku
berjanji — kali ini aku akan benar-benar menghargai setiap detik bersama
mereka. Karena mungkin, setelah ini, semuanya hanya akan menjadi kenangan.
2 Komentar
Waktu memang cepat berlalu. Tapi harus di jalani. Semangat semangat
BalasHapussemangatt stranger. May your life continue to be happy
BalasHapus