Sebelum Mengerjakan tugas silahkan baca dan pahami terlebih dahulu materi di bawah
Pembinaan Mental Agama Di Sekolah
Pendidikan dimanapun dan kapanpun masih
dipercaya orang sebagai media ampuh untuk membentuk kepribadian anak ke arah
kedewasaan. Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan
pembinaan mental. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam
agama karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri dan
penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan
beragama. Karenanya keyakinan itu harus dipupuk dan ditanamkan sedari kecil
sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia
dewasa. Melihat dari sini, pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan
tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya
pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan gejolak kejiwaan yang
berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial,
pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai
sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).
Pada usia remaja, ditinjau dari aspek
ideas and mental growth, kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran
keagamaan mulai muncul, kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau
kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah
apalagi jika metodologi pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan
berbau indoktrinasi. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan
terhadap materi keagamaan yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar
permasalahan yang timbul dari kekurang senangan remaja terhadap paket materi
pelajaran keagamaan di sekolah terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami
agama secara lebih intens, yang lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang
mereka dapat di sekolah kurang memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam
keseharian mereka. Apalagi waktu mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton
televisi, jalan-jalan ke mall, bermain medsos tapi mengenal waktu dan hal-hal lain meski banyak juga
remaja kita yang melakukan aktifitas positif seperti remaja mesjid,
berwiraswasta atau ikut organisasi eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus
keterampilan.
Jawaban dari permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai
tauladan dan sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah
ia menjadikan dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang
dipergunakan sebagai referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya
remaja itu dalam mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa
memiliki agama (having religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama
sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur
seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan ibadah
sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya atau
malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain
sebagainya.
Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di
sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya
selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa
menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan sekolah
(kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan remaja itu
sendiri. Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak
diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa
dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar
mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun harus
terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem pengajaran yang
cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar (karena hanya
membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti dengan sistem
pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan kesadaran dari
dalam diri. Hal ini mungkin saja dilakukan baik dengan mengajak peserta didik
bersama-sama mengadakan ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan makna
ibadah) atau mengajak peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan
masyarakat kecil sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan
penderitaan yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan
rasa solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau
mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang terdapat
dalam materi pengajaran agama di sekolah.
Namun diatas semua itu yang paling penting adalah keterpaduan unsur keluarga, lingkungan masyarakat, kebijakan pemerintah disamping sekolah dalam rangka turut menanamkan semangat beragama yang ideal (intrinsik) di kalangan para remaja. Karena tanpa kerjasama terkait antar usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta generasi muda (remaja) yang berkualitas.
setelah membaca dan mempelajari materi di atas silahkan untuk mengerjakan
0 Komentar