JUMAT SIANG DI MEJA GILANG: MERAJUT KEPERCAYAAN

 

 

 

JUMAT SIANG DI MEJA GILANG: MERAJUT KEPERCAYAAN

Pelajaran Pendidikan Pancasila hari itu diampu oleh Bu Risa, guru muda yang energik. Wajahnya yang ceria, sesekali ia mengenakan sneakers kesayangannya, dan gaya mengajarnya jauh dari kata membosankan. Bu Risa sering memutar video inspiratif, mengadakan simulasi debat, atau bahkan sesekali mengajak murid-muridnya nge-vlog tentang penerapan nilai-nilai Pancasila di lingkungan sekolah. Ciri khasnya, di setiap awal semester ia selalu berkata, “Pancasila itu bukan cuma teori, tapi janji kita sebagai warga negara. Dan janji itu, teman-teman, adalah utang kehormatan yang harus kita bayar tuntas.” Ia selalu membuktikannya dengan menepati janji-janji kecilnya, seperti mengumumkan hasil tugas proyek tepat waktu atau membalas pesan konsultasi murid yang online 24/7.

Namun, di sudut paling belakang kelas, ada Gilang. Sorot matanya tajam, namun penuh sinisme. Gilang adalah siswa cerdas, tapi tertutup. Ia memandang semua "janji" orang dewasa sebagai omong kosong belaka. Luka-luka itu bukan goresan fisik, melainkan serpihan kekecewaan yang tak terlihat. Ia ingat bagaimana ayahnya berjanji akan menemaninya mengikuti lomba sains, tapi batal karena tiba-tiba ada urusan kantor. Atau ibunya yang berjanji akan membeli sepatu baru setelah rapor, tapi janji itu terlupakan begitu saja. Kekecewaan berulang itulah yang membuat Gilang membangun tembok emosional yang tinggi, melindungi dirinya dari janji-janji yang menyakitkan.

Suatu hari, Bu Risa mengumumkan sebuah kuis dadakan. “Siapa yang bisa menjelaskan dengan detail implementasi sila keempat Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, akan mendapatkan hadiah spesial. Koleksi pribadi saya: sebuah buku langka tentang kisah-kisah tokoh muda Indonesia yang berjuang menjaga integritas dan musyawarah dalam mengambil keputusan,” ujar Bu Risa, tersenyum.

Gilang, yang diam-diam sangat menyukai buku-buku biografi tokoh inspiratif, merasa tertantang. Bukan karena hadiahnya, tapi karena ia ingin menguji Bu Risa. Di dalam hatinya, ia sudah yakin, cepat atau lambat, Bu Risa pasti akan sama saja seperti orang dewasa lainnya. Pasti ada alasan.

Gilang menjawab kuis itu dengan sempurna. Ia memaparkan bagaimana musyawarah dapat diterapkan di lingkungan RT untuk menentukan jadwal ronda, bagaimana keputusan di kelas diambil berdasarkan suara terbanyak, hingga pentingnya menghargai perbedaan pendapat dalam diskusi kelompok. Seisi kelas bertepuk tangan kagum. Bu Risa tersenyum bangga.

“Luar biasa, Gilang! Kamu benar-benar menguasai materi,” puji Bu Risa tulus. “Buku itu akan saya berikan kepadamu Jumat nanti, di jam pelajaran Pancasila. Ingat, janji adalah utang kehormatan.”

Gilang hanya mengangguk singkat, ekspresinya datar. Namun, di balik ketenangannya, ada secercah harapan kecil yang mulai tumbuh, merayap di antara tembok-tembok sinismenya.

Kamis malam, harapan itu diuji. Hujan badai menerjang kota. Di rumah Bu Risa, Wi-Fi mendadak putus. Listrik padam. Parahnya lagi, laptop yang berisi semua materi mengajar dan tugas-tugas muridnya tiba-tiba mengalami blue screen of death. Bu Risa panik. Ia harus menyiapkan presentasi untuk workshop besok, mengoreksi tugas kelompok, dan memastikan bukunya untuk Gilang aman. Ia begadang semalaman, mencoba memperbaiki laptopnya yang hang, menelepon teknisi, dan menyelamatkan file-nya. Ia kelelahan, dan buku untuk Gilang nyaris terkena tumpahan kopi.

Di sekolah pada hari Jumat pagi, kabar mengenai Bu Risa yang semalaman kesulitan akibat trouble laptop dan padam listrik menyebar di antara murid-murid. Gilang mendengarnya. Hatinya langsung mencelos. “Nah, kan,” batinnya getir. “Pasti ada alasan. Selalu ada alasan.” Ia menghabiskan sisa hari dengan perasaan hampa, seolah kekecewaan yang sudah ia duga akhirnya tiba. Tembok emosionalnya kembali menebal, lebih kuat dari sebelumnya.

Jam pelajaran Pendidikan Pancasila terakhir di hari Jumat terasa sangat panjang bagi Gilang. Ia duduk di pojok, tidak terlalu memperhatikan Bu Risa yang mengulas materi tentang Bhineka Tunggal Ika. Gilang hanya menunggu bel pulang berbunyi, menunggu bukti atas kekecewaannya yang sudah ia ramalkan. Bu Risa masuk ke kelas, wajahnya terlihat sedikit lesu, tapi ia tetap mengajar dengan semangat seperti biasa. Ia sama sekali tidak menyinggung soal buku hadiah.

Teeeeet!

Bel pulang berbunyi nyaring, memecah kesunyian di hati Gilang. Jantungnya berdebar. Ia melihat teman-temannya mulai berkemas. Inilah momennya. Momen di mana ia sekali lagi terbukti benar. Ia mulai memasukkan bukunya ke dalam tas dengan gerakan lambat, menelan rasa pahit yang familiar.

“Gilang, tunggu sebentar.”

Suara Bu Risa yang tenang memecah kebisingan kelas. Gilang membeku. Bu Risa berjalan menghampiri mejanya. Ia meletakkan tas laptopnya yang bermotif etnik di atas meja. Dengan napas yang sedikit terengah karena lelah, ia berkata, “Saya hampir lupa...” Ia membuka tasnya. Di dalamnya, ada sebuah buku bersampul tebal, terbungkus rapi dengan plastic wrap bening. Ia mengeluarkannya dengan hati-hati.

“Maaf ya, semalam saya sedikit struggle dengan laptop dan mati listrik di rumah,” ujar Bu Risa sambil menyodorkan buku itu. “Tapi janji tetaplah utang kehormatan, kan?”

Gilang menatap buku di tangannya, lalu menatap wajah lelah Bu Risa yang masih memancarkan ketulusan. Di momen itu, di Jumat siang yang cerah, tembok pertahanan Gilang runtuh seketika. Matanya terasa panas. Ia tidak bisa berkata-kata. Untuk pertama kalinya, ia melihat seorang dewasa yang memilih menepati janji kecil pada seorang murid di tengah kesulitan pribadinya yang besar. Bukan karena takut, tapi karena ia menghargai janjinya.

Gilang berjalan pulang sambil memeluk buku itu erat-erat. Sesampainya di kamar, ia tidak langsung membacanya. Ia hanya duduk, memandangi buku itu. Plastic wrap yang melindunginya terasa lebih berharga daripada isinya. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya menetes, membasahi sampul plastik itu. Itu bukan tangis kesedihan. Itu adalah tangis kelegaan dari beban sinisme yang selama ini ia pikul. Beban yang selama ini ia gunakan untuk melindungi diri, tapi juga mengasingkannya.

Di sekolah pada minggu berikutnya, ada yang berbeda dari Gilang. Ia tidak lagi duduk di pojok paling belakang. Ia memilih meja di baris ketiga. Saat Bu Risa mengajar, ia mendengarkan dengan saksama. Bahkan ada satu momen di mana ia mengangkat tangan untuk bertanya tentang relevansi musyawarah di era digital. Sebuah perubahan kecil yang dilihat oleh Bu Risa dengan senyum tipis. Gilang juga mulai berinteraksi dengan teman-temannya, bahkan ikut berdiskusi tentang persiapan lomba kebersihan kelas.

Beberapa minggu kemudian, Gilang memberanikan diri untuk tinggal setelah kelas selesai. Ia menghampiri Bu Risa.

“Bu, terima kasih,” ujarnya dengan suara yang tulus. “Bukan cuma untuk bukunya. Tapi... untuk janjinya. Itu… itu penting sekali buat saya.”

Bu Risa tersenyum hangat, menepuk pundak Gilang. “Sama-sama, Gilang. Ingat, integritas itu dimulai dari hal-hal kecil, dari janji-janji yang kita tepati. Apalagi janji kita pada Pancasila, untuk selalu menjaga persatuan dan musyawarah.”

Gilang berjalan keluar dari ruang kelas. Langit sore tampak cerah, seperti menyambut semangat baru dalam dirinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, langkahnya terasa ringan dan penuh harapan. Ia mungkin masih punya banyak luka dari masa lalu, tapi hari itu, sebuah janji yang ditepati telah menanamkan benih kepercayaan. Benih yang akan terus tumbuh, menguatkan dirinya untuk percaya pada orang lain, dan yang terpenting, percaya pada dirinya sendiri.

Pesan dari Cerpen "Jumat Siang di Meja Gilang: Merajut Kepercayaan"

Pernah enggak sih kalian merasa kecewa karena janji yang enggak ditepati? Pasti rasanya sakit dan bikin kita jadi malas percaya lagi, kan?

Nah, di cerpen ini, ada Gilang yang awalnya sebel banget sama janji-janji kosong orang dewasa. Dia sampai bikin tembok besar di hatinya supaya enggak gampang sakit hati lagi. Tapi, gara-gara Bu Risa, guru Pancasila-nya yang keren, tembok itu akhirnya runtuh.

Pesan pentingnya gini:

  1. Jangan Gampang Menyerah Sama Kepercayaan: Meskipun sering dikecewakan, jangan sampai kita berhenti percaya sama orang baik. Kadang, ada kok orang-orang yang beneran tulus menjaga janjinya, kayak Bu Risa.
  2. Janji Itu Berharga Banget! Bu Risa bilang, "Janji itu utang kehormatan." Ini bener banget! Menepati janji, sekecil apa pun, nunjukkin kalau kita punya integritas dan bisa dipercaya. Itu juga bukti kalau kita menghargai orang lain.
  3. Hal Kecil Bisa Bikin Perubahan Besar: Bayangin, cuma karena janji buku yang ditepati Bu Risa, Gilang yang awalnya sinis dan tertutup, jadi mulai terbuka. Dia mulai berani bertanya, berinteraksi, bahkan percaya lagi. Jadi, jangan remehkan kekuatan hal-hal kecil yang positif, ya!
  4. Bangun Kepercayaan, Bangun Persatuan: Kalau di pelajaran Pancasila, kita sering dengar tentang musyawarah dan persatuan. Nah, semua itu akan sulit terwujud kalau kita enggak punya rasa percaya satu sama lain. Cerpen ini ngajarin kita kalau kepercayaan adalah fondasi penting buat kebersamaan.
  5. Percaya Diri Sendiri Itu Kunci: Setelah semua yang terjadi, Gilang akhirnya enggak cuma percaya sama Bu Risa, tapi juga mulai percaya sama dirinya sendiri. Itu yang paling penting! Saat kita percaya pada diri sendiri, kita jadi lebih berani buat jadi pribadi yang lebih baik.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar