CINCIN SEMBILAN MATAHARI
KARYA: RAISA NAFISA FAHMA (8B)
Di balik tebalnya debu gurun dan cakrawala yang memerah, nama Mona menjadi bisikan harapan. Ia bukan prajurit atau bangsawan, melainkan seorang pencari artefak dengan satu tujuan: menemukan solusi bagi tanah-tanah yang sekarat.
Selama lima tahun terakhir, Mona telah menjelajahi setiap sudut dunia—dari hutan lebat hingga pegunungan bersalju—semata demi satu legenda: Cincin Sembilan Matahari.
Bersamanya ada Kael, sahabat sekaligus rekan seperjalanan yang setia. Kael, dengan busurnya yang jarang meleset, selalu menjadi mata dan telinga Mona. Mereka adalah pasangan yang saling melengkapi—Mona dengan kecerdasan dan keberaniannya, Kael dengan kewaspadaan dan ketenangannya.
“Semoga peta ini benar, Mona,” ucap Kael suatu malam saat mereka duduk di depan api unggun.
“Aku tidak tahu lagi berapa banyak badai pasir yang bisa kita lewati.”
“Aku merasakannya, Kael,” jawab Mona, menatap peta yang berkilau diterpa cahaya api. “Cincin itu... aku bisa merasakannya. Dia memanggil kita.”
Dan panggilan itu membawa mereka ke ujung paling tandus dari Gurun Ar-Kharim. Di sana, di antara bukit-bukit pasir yang tak berujung, berdiri sebuah tebing yang menyerupai kepala elang—tempat di mana Kuil Elang Emas konon tersembunyi.
Mereka tahu perjalanan ini tidak akan mudah, karena mereka bukan satu-satunya yang mencari cincin tersebut. Jenderal Vex, sang tiran kejam, juga menginginkannya untuk kekuasaan. Namun, Mona dan Kael tidak akan menyerah. Nasib tanah mereka bergantung pada petualangan ini.
Angin gurun menerpa wajah Mona, membawa butiran pasir yang terasa seperti ribuan jarum kecil. Di tangannya, sebuah peta kuno bergetar—garis-garisnya memudar dimakan usia.
Tujuannya jelas: Kuil Elang Emas, tempat di mana Cincin Sembilan Matahari konon bersembunyi. Artefak itu diyakini dapat mengembalikan kesuburan tanah-tanah tandus yang kini meluas di seluruh negeri.
Di belakangnya, Kael—seorang pemanah ulung dengan mata setajam elang—menjaga langkahnya.
“Kita hampir sampai, Mona,” bisiknya pelan dan waspada.
Mereka mulai mendaki tebing curam. Mona melemparkan kait grappling-nya ke atas lalu menarik tubuhnya perlahan. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena lelah, melainkan karena firasat buruk yang terus menyelimuti. Firasat itu terbukti ketika sebuah panah melesat melewati telinganya.
“AWAS!” teriak
Kael, menarik Mona ke balik sebuah batu besar. “Mereka sudah menunggu kita!”
Mona mengintip dari balik batu. Sepuluh prajurit bertopeng hitam, membawa busur dan pedang, berdiri di puncak tebing. Mereka adalah pengikut Jenderal Vex—tiran yang ingin menguasai dunia dengan cincin itu.
“Ini jebakan,” gumam Mona. “Mereka tahu kita akan datang.”
“Kita harus terus maju,” kata Kael, menyiapkan busurnya. “Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kau lari ke puncak, cari pintu masuknya.”
Mona menggeleng. “Tidak, Kael. Kita hadapi mereka bersama.”
“Tidak ada waktu untuk berdebat!”
Kael melepaskan panah pertama. Anak panah itu melesat cepat, mengenai helm salah satu prajurit yang langsung terjatuh. Serangan dibalas segera; panah-panah beterbangan seperti kawanan lebah.
Mona menarik napas dalam, lalu melompat keluar dari persembunyian. Ia mengeluarkan dua pisau lempar, melemparkannya ke arah prajurit terdekat. Dua orang tumbang, namun yang lain segera menyerang. Salah satu dari mereka mengayunkan pedang ke arah Mona. Dengan refleks cepat, Mona meluncur ke bawah, menghindari tebasan itu, lalu menusuk kakinya.
Pertarungan sengit terjadi di atas tebing. Mona bergerak gesit, menghindari serangan dan melancarkan pukulan balik yang akurat. Kael menembak dari kejauhan, memberikan perlindungan efektif. Namun, jumlah musuh terlalu banyak.
“MONA, PINTU MASUKNYA!” teriak Kael, menunjuk ke sebuah celah kecil di tebing yang nyaris tak terlihat.
Mona berlari sekuat tenaga, sementara Kael terus menembakkan panah untuk menutup pergerakannya. Tiba-tiba, sebuah pedang meluncur ke arah Kael. Ia berhasil menangkisnya, tetapi salah satu prajurit berhasil mendekat dan menusuk bahunya. Kael jatuh berlutut, busurnya terlepas.
“Kael!” teriak Mona. Hatinya menciut. Ia ingin kembali.
“Lari, Mona! Cincin itu... lebih penting!” seru Kael menahan rasa sakit. “Jangan biarkan usahaku sia-sia!”
Dengan air mata yang menetes, Mona memaksa dirinya berlari. Ia meluncur ke dalam celah, meninggalkan Kael yang terus bertarung sendirian. Air matanya berubah menjadi tekad. Ia harus berhasil—demi Kael dan masa depan negerinya.
Lorong di dalam gelap dan sempit. Mona menyalakan obor, berjalan perlahan. Firasat buruknya kembali. Ia merasakan kehadiran yang bukan dari prajurit Vex. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Di hadapannya berdiri sosok berjubah hitam.
“Aku sudah menunggumu, Mona,” suara berat bergema di lorong. “Cincin itu akan menjadi milikku.”
Mona terkesiap. Wajah Jenderal Vex—yang selama ini hanya ia lihat di poster buronan—kini berdiri di hadapannya. Jubah hitamnya berkibar pelan, matanya berkilat jahat di balik topeng besi.
“Aku tahu kau akan datang,” geram Vex. “Kau dan si pemanah bodoh itu. Sayangnya, dia tidak akan melihat akhir dari petualangan ini.”
Jantung Mona berdebar. Rasa takut bercampur amarah membakar dadanya. Ia melangkah maju. “Di mana cincin itu?” tanyanya dengan suara bergetar tapi tegas.
Vex tertawa, suaranya bergema di lorong sempit.
“Kau pikir aku akan memberitahumu semudah itu? Cincin itu ada di dalam kuil, di balik pintu yang hanya bisa dibuka oleh darahmu.”
“Apa maksudmu?”
“Keluargamu adalah keturunan dari suku kuno yang membangun kuil ini. Darahmu adalah kuncinya,” jelas Vex. “Karena itu, aku harus memilikimu... atau setidaknya, darahmu.”
Vex mengayunkan pedangnya. Mona sigap menghindar lalu melemparkan pisau lemparnya. Pedang Vex menangkis dengan mudah, percikan api menyala dari benturan besi. Mona tahu ia tak bisa menang dalam pertarungan langsung. Ia harus lebih cerdik.
Mona berlari zig-zag di antara pilar batu, memancing Vex yang bertubuh besar agar kesulitan mengejar. Saat ia melewati celah sempit, Mona meloncat ke atas pilar, lalu mendarat di belakang Vex. Ia menusukkan pisau ke bahu sang jenderal. Vex menggeram kesakitan, namun belum tumbang. Ia berbalik cepat dan melancarkan tebasan. Mona menunduk, nyaris tertebas.
“Kau cepat, gadis kecil,” kata Vex dingin. “Tapi bukan tak terkalahkan!”
Pertarungan berlanjut sengit. Mona terus berlari dan menghindar, sementara Vex semakin frustasi. Hingga akhirnya, Mona melihat apa yang ia cari—sebuah patung elang raksasa di ujung lorong. Patung itu memiliki mata yang berongga.
Ia punya ide.
Mona berlari secepat mungkin ke arah patung. Vex mengejarnya, yakin Mona tak punya jalan keluar. Namun Mona tak melarikan diri. Ia melompat ke atas patung, melempar sisa pisaunya ke arah mata patung. Pisau itu menancap tepat sasaran, dan seketika mata patung memancarkan cahaya.
Sinar dari patung menembus langit-langit; reruntuhan batu jatuh tepat di depan Jenderal Vex. Vex berhasil menghindar, tapi terperangkap di balik puing.
Mona tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melompat ke depan patung, di mana terdapat altar kecil. Ia mengiris telapak tangannya, meneteskan darah ke atas altar. Pintu batu di belakang patung terbuka perlahan, memancarkan cahaya keemasan.
Itulah Cincin
Sembilan Matahari.
Mona mengambilnya. Cincin itu terasa hangat, dan seketika ia merasakan kekuatan luar biasa mengalir dalam tubuhnya—kekuatan kehidupan itu sendiri.
Tiba-tiba, suara
reruntuhan terdengar. Vex berhasil keluar dari puing. “Berikan padaku cincin
itu!” teriaknya.
Mona menggenggam cincin erat-erat. Energi dari cincin terasa seperti detak jantung bumi. Ia menatap Vex yang siap menyerang. Mona tahu ia tak bisa menang dengan kekerasan, tetapi ia punya cincin itu.
Ia mengangkat cincin tinggi-tinggi. Cahayanya semakin terang. Dari dalamnya, mengalir energi murni seperti air, membentuk bola cahaya berputar di atas kepala Mona.
Vex menebaskan pedang terakhir, namun begitu menyentuh bola cahaya, pedangnya hancur berkeping-keping.
“Ini tak mungkin!” jerit Vex, mundur ketakutan.
“Ini bukan sihir, Vex,” ujar Mona tegas. “Ini adalah kehidupan. Dan kau telah merenggutnya dari tanah ini.”
Dengan satu tarikan napas, Mona melepaskan energi dari Cincin Sembilan Matahari. Gelombang cahaya keemasan melesat dari dalam kuil, menembus langit gurun. Energi itu menyebar ke segala arah, meresap ke setiap butir pasir.
Di luar kuil, para prajurit Vex yang tengah bertarung dengan Kael merasakan tanah di bawah mereka bergetar. Pasir mulai bergerak, dan dalam hitungan detik, tunas-tunas hijau bermunculan. Gurun yang kering kini mulai tumbuh rumput dan bunga.
Kael yang masih memegangi bahunya menatap takjub. Air mata haru mengalir di pipinya. Ia tahu—Mona telah berhasil.
Di dalam kuil, Jenderal Vex menatap tak percaya pada kehijauan yang menyebar. Kekuatan yang ia dambakan kini digunakan untuk tujuan yang paling ia benci: menghidupkan kembali bumi.
“Kau menghancurkan segalanya!” teriaknya penuh amarah.
“Aku hanya mengembalikan apa yang seharusnya,” jawab Mona tenang.
Lorong kuil mulai runtuh. Vex yang dikuasai amarah tak sempat menghindar; balok batu besar menimpanya, mengubur ambisinya selamanya.
Mona keluar dari reruntuhan dengan cincin bersemayam di jarinya. Ia menemukan Kael, yang sudah dikelilingi prajurit Vex yang kini kebingungan. Mereka tak lagi bertarung; sebagian menjatuhkan senjata, menatap takjub pada rumput di sekitar mereka.
“Kau berhasil,”
kata Kael sambil tersenyum, lalu jatuh pingsan karena kehilangan darah.
Mona berlutut di sampingnya, menggunakan kekuatan cincin untuk menyembuhkan luka Kael.
Luka di bahunya perlahan menutup, meninggalkan bekas samar.
Kini, di seluruh negeri, gurun tandus berubah menjadi ladang hijau. Sungai-sungai kembali mengalir. Cincin Sembilan Matahari tidak hanya mengembalikan kehidupan, tetapi juga harapan.
Mona dan Kael
menjadi legenda—bukan karena mereka mencari kekuasaan, tetapi karena mereka
mengembalikan harmoni.
Epilog
Satu tahun kemudian, Mona dan Kael berdiri di atas bukit yang dulu hanya berisi pasir dan debu. Kini, tempat itu dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Di kejauhan, tampak desa-desa makmur dan anak-anak yang bermain di ladang.
Mona melepaskan Cincin Sembilan Matahari dari jarinya.
“Cincin ini tidak lagi dibutuhkan,” katanya.
“Kenapa?” tanya Kael, yang bahunya kini pulih sepenuhnya.
“Karena kehidupan sudah kembali. Sekarang, giliran manusia untuk menjaganya,”
jawab Mona.
“Cincin ini sudah menyelesaikan misinya. Kita kembalikan ke tempat asalnya agar kekuatannya tetap murni, tidak disalahgunakan.”
Mereka kembali ke Kuil Elang Emas, yang kini dikelilingi oasis hijau. Mereka menempatkan cincin itu di altar, dan pintu batu kembali tertutup, menyembunyikan artefak kuno itu untuk selamanya.
Mona dan Kael tak
lagi mencari petualangan atau harta karun. Petualangan terbesar mereka telah
berakhir—dan hadiah terbesarnya adalah melihat tanah mereka hidup kembali.
Membaca lebih seru Cerpen Raisa

0 Komentar