KETIKA KELUARGA MENGANGGAP SAINGAN

                                    KETIKA KELUARGA MENGANGGAP SAINGAN
Karya : Cevrilla Sarah (9A)

 
                                                                                Ilustrasi

Aku benci keluarga ayah dan ibu.

Karena di keluarga ayah, semuanya iri kepada ayahku yang menjadi anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. Mereka selalu merayu kakek dan nenek agar diberi uang. Salah satunya adalah kakak ayahku yang meminta kakek dan nenek membiayai kuliah anaknya. Adik pertama ayahku meminta modal usaha yang jumlahnya besar. Adik keduanya dibiayai kuliah kebidanan yang tidak murah. Namun hasilnya tidak sepadan, karena setelah menikah, ia langsung berhenti kuliah.

Aku sering melihat ayah terdiam lama di ruang tamu setiap kali mendengar kabar itu. Wajahnya murung, tapi ia tidak pernah marah. “Tidak apa-apa,” katanya pelan, “mungkin mereka lebih membutuhkan.” Tapi aku tahu di balik ucapannya, ada kecewa yang dalam.

Namun saat ayahku ingin meminjam uang untuk modal, kakek dan nenek tidak mau memberi. Padahal, istri adalah tanggung jawab suami. Anehnya, saudara-saudara perempuan ayahku malah diberi. Seharusnya ayahku juga mendapat keadilan. Ayahku ingin meminjam, bukan meminta. Kenapa mereka tidak adil? Karena kakak dan adik ayahku menghasut kakek dan nenek. Mereka menguras harta sejak sekarang, karena tahu saat nanti dibagi warisan, ayahku akan mendapatkan bagian lebih banyak sebagai anak laki-laki satu-satunya.

Saat liburan sekolah, kakekku ingin bermain ke rumah anaknya—kakak ayahku—di Jakarta. Ia menyewa mobil Hiace agar anak dan cucunya bisa ikut. Kami pun pergi untuk menemui sepupuku. Aku tidak suka padanya... karena sepupu yang kami kunjungi itulah yang kuliahnya dibiayai penuh oleh kakek dan nenekku sampai tamat.

Meski begitu, aku berusaha menahan perasaan. Aku tersenyum dan membantu menurunkan barang, meski dalam hati terasa panas. “Tidak apa-apa,” batinku, “aku tidak mau terlihat iri seperti mereka.”

Minggu kemarin, sepupu ayahku akan berangkat ke Mekkah. Kakekku ingin berkunjung ke rumahnya sebelum keberangkatan. Karena keluarga bibiku semua akan berangkat, hanya keluarga ayahku yang tidak. Kakek pun ingin mengajak kami ikut agar tetap bersama. Ia berniat menyewa mobil Hiace lagi, tetapi bibiku tidak setuju. Ia menyarankan agar keluarga ayahku menyewa mobil sendiri. Padahal, tujuan kakek agar semua bisa berangkat bersama. Bibiku tetap menolak.

Belakangan kami tahu alasan sebenarnya—mobil bibiku sedang di bengkel, dan ia ingin memperbaikinya dengan uang kakekku. Saat itu aku baru sadar, betapa liciknya orang yang bisa menutupi kepentingan pribadi dengan alasan yang tampak baik.

Sekarang kalian tahu kan, bagaimana keluarga ayahku? Ya, begitulah mereka.


Di keluarga ibuku, hanya ada dua bersaudara. Ibuku anak pertama, tapi ia punya kakak tiri laki-laki. Kakekku meninggalkan sebuah toko yang harganya mahal, dan toko itu sudah dikelola oleh kakak tiri ibuku. Saat nenekku meninggal, warisan belum dibagi karena asetnya belum terjual.

Beberapa tahun berlalu, ibuku menawarkan rumah warisan itu kepada seorang pembeli yang dikenal sering membeli aset di mana-mana. Awalnya, kakak tiri ibuku tidak ingin mengambil bagian warisan. Mungkin karena ia sudah merasa cukup dengan toko peninggalan kakekku. Tetapi, saat salah satu saudara kakek bertanya kepadanya soal uang warisan, ia akhirnya meminta jatah bagiannya—dan ibuku menuruti.

Aku melihat ibuku terdiam lama setelah percakapan itu. “Ternyata, orang yang kita kira ikhlas pun bisa berubah,” katanya lirih. Aku hanya bisa menggenggam tangannya.

Ibuku lalu teringat bahwa kakek meninggalkan toko besar yang dikelola oleh kakak tirinya. Sekarang ibuku tahu alasan mengapa kakaknya dulu tidak mau mengambil bagian warisan rumah—karena toko itu jauh lebih bernilai.

Beberapa minggu lalu, orang yang tertarik membeli rumah warisan ingin melihat sertifikatnya. Sertifikat itu disimpan oleh adik ibuku, jadi ibuku mengajaknya datang bersama ke rumah calon pembeli. Tapi adik ibuku menolak, karena tidak percaya pada orang itu.

Aku tahu ibuku kecewa, tapi ia berusaha sabar. “Mungkin dia hanya takut tertipu,” ujarnya, meski matanya tampak sedih.

Padahal, calon pembeli itu sudah terkenal di daerah kakekku sebagai orang yang jujur dan suka membeli aset. Seharusnya adik ibuku bisa lebih percaya, karena uang hasil penjualan rumah itu pun akan dibagi untuk semua.

Ya, memang kita tidak boleh percaya sepenuhnya kepada orang lain, bahkan kadang orang terdekat pun bisa mengecewakan. Tapi dalam hidup, kita juga perlu belajar berikhtiar dan berpikir terbuka.


Pesan moral:

Jadi saudara harus saling merangkul, bukan saling memukul. Kita harus saling berbagi, bukan iri hati. Jadilah perintis, bukan pewaris. Karena warisan bisa habis, tapi semangat, kerja keras, dan keikhlasanmu akan terus membawamu menuju puncak.

Cerpen diatas bisa di baca juga pada link Cerpen Cevrilla Sarah

Posting Komentar

0 Komentar