Persahabatan Yang
Abadi
Karya : Muhammad
Arya Putera Priatna (8B)
Ilustrasi
Hari
itu matahari pagi bersinar cerah, menandai awal tahun ajaran baru di sekolah
dasar. Di tengah hiruk-pikuk anak-anak yang berlarian mencari kelas, aku
melihat seorang anak laki-laki yang tampak kebingungan mencari tempat duduk.
Namanya Rizky. Dengan senyum ramah, aku menepuk pundaknya perlahan dan berkata,
“Ayo duduk di sini, bareng aku saja.” Ia menatapku sejenak, lalu tersenyum
malu-malu. Sejak saat itu, persahabatan kami dimulai.
Hari-hari
kami di sekolah selalu penuh warna. Rizky suka bermain gitar, sedangkan aku
lebih senang menulis dan belajar. Kadang kami saling bertukar hasil karya — aku
belajar memainkan gitar darinya, dan ia mencoba menulis cerita bersamaku.
Rasanya seperti dunia kecil kami sendiri, tempat imajinasi tumbuh tanpa batas.
Sepulang
sekolah, kami sering bermain di lapangan perumahan. Kadang bermain bola bersama
teman-teman lain, kadang hanya berdua duduk di tengah lapangan yang panasnya
menyengat sambil bercerita tentang apa saja. Ada kalanya kami bertengkar
karena hal sepele, seperti siapa yang lebih cepat menulis atau siapa yang lebih
cepat menghafal. Tapi itu tak pernah berlangsung lama. Esoknya kami sudah
berbaikan lagi, seakan tak pernah ada masalah. Begitulah kami—dua anak kecil
yang tak pernah bisa lama-lama marahan.
Seiring
berjalannya waktu, tanpa terasa kami lulus SD dan memasuki SMP. Untungnya, kami
kembali ditempatkan di kelas yang sama. Hal itu membuat kami senang, karena
bisa bersama lagi seperti dulu. Kami duduk sebangku, belajar bersama, dan
saling mengingatkan jika ada tugas sekolah yang belum selesai.
Di
SMP, kami mulai menemukan minat masing-masing. Aku lebih suka membaca buku di
perpustakaan, sementara Rizky semakin serius dengan gitarnya. Ia sering ikut
lomba seni musik dan tampil di acara sekolah. Meski begitu, kami tetap saling
mendukung. Aku selalu hadir menonton setiap penampilannya, bertepuk tangan
paling keras di antara penonton.
Suatu
sore, hujan deras mengguyur kota. Rizky yang nekat bermain hujan akhirnya jatuh
sakit. Kabar itu membuatku panik. Aku langsung pergi menjenguknya. Saat
melihatnya terbaring lemah, aku merasa khawatir dengan sahabatku. “Kamu jangan
bandel lagi, ya. Aku nggak mau lihat kamu sakit seperti ini,” ucapku. Rizky
hanya tersenyum lemah. “Santai aja, aku kuat kok. Kan ada kamu yang selalu
dukung aku.”
Di balik senyum itu, aku bisa melihat matanya yang sayu, namun tetap
menyimpan semangat. Saat itu aku sadar, rasa peduli dalam persahabatan bisa
muncul begitu tulus tanpa alasan.
Hari-hari
setelah itu membuatku sadar bahwa persahabatan bukan hanya soal bermain
bersama, tapi juga hadir ketika keadaan sulit. Dari situlah aku semakin
menghargai arti kehadiran seorang sahabat.
Ketika
Rizky sudah membaik, kami kembali berbicara tentang impian masa depan. Aku
berkata, “Aku ingin jadi hakim, biar bisa menegakkan keadilan.” Rizky menatap
langit dan menjawab, “Aku ingin jadi gitaris terkenal.” Kami berjanji akan
saling mendukung apa pun yang terjadi.
Kami tertawa kecil sambil menatap langit sore yang mulai jingga, seolah
sedang menulis janji itu di awan.
Kenangan
demi kenangan terus terukir. Kami pernah diberi apresiasi karena berani
menjawab di depan kelas, bahkan pernah tersesat saat bersepeda terlalu jauh
dari perumahan. Semua itu kini menjadi cerita lucu yang selalu kami ingat.
Setiap tawa kami seolah menempel di dinding waktu, menjadi saksi betapa
lamanya persahabatan ini tumbuh.
Namun,
waktu tak pernah berhenti berjalan. Semakin lama, kesibukan mulai membuat kami
jarang bermain bersama seperti dulu. Aku lebih sering sibuk dengan kegiatan
organisasi sekolah, sedangkan Rizky berlatih musik hingga sore. Pertemuan kami
memang tak sesering dulu, tapi karena masih sekelas, kami tetap bisa saling
menguatkan di sela-sela kesibukan.
Suatu
malam, setelah menonton Rizky tampil di acara sekolah, aku menepuk pundaknya.
“Kamu hebat banget, Ky. Suatu hari nanti aku yakin kamu bakal jadi gitaris
besar.” Rizky tersenyum, “Dan aku yakin kamu bakal jadi hakim yang adil. Kita
harus tetap dukung satu sama lain, ya.”
Malam itu, suara sorak penonton seakan lenyap, digantikan oleh keyakinan
bahwa persahabatan kami lebih besar dari sekadar panggung dan tepuk tangan.
Ada
kalanya kami merasa lelah dengan perjalanan masing-masing. Aku pernah kewalahan
membagi waktu antara organisasi dan belajar, dan Rizky pernah hampir menyerah
ketika kalah lomba musik. Tapi setiap kali salah satu dari kami goyah, yang
lain selalu hadir untuk menguatkan. Itulah yang membuat persahabatan kami
istimewa.
Suatu
sore di kelas sembilan, aku menatap Rizky yang sedang memainkan gitar di
rumahnya. Aku berkata lirih, “Nanti kalau kita sudah SMA, mungkin kita akan
beda sekolah. Kamu nggak takut kita bakal jauh?” Rizky berhenti bermain, lalu
tersenyum. “Aku nggak takut. Karena sejauh apa pun jaraknya, hati kita tetap
dekat. Itu yang bikin persahabatan abadi.”
Kata-katanya menancap dalam di hatiku—sederhana, tapi menghangatkan, seperti
nada terakhir dari lagu yang indah.
Sejak
hari itu, aku yakin jarak, waktu, atau kesibukan tidak akan memisahkan kami.
Kini,
ketika aku menulis cerita ini, aku semakin sadar bahwa persahabatan bukan
diukur dari seberapa sering bertemu, tapi dari seberapa kuat kita menjaga
ikatan hati. Terima kasih, Rizky, sudah menjadi sahabat terbaikku sejak SD
sampai SMP. Semoga persahabatan ini tetap bertahan sampai kita dewasa, sampai
cita-cita kita tercapai.
Mungkin nanti kita akan sibuk mengejar mimpi masing-masing, tapi aku
tahu—setiap kali mendengar suara gitar, aku akan selalu teringat kamu.
Aku
percaya, meski hidup membawa kami ke jalan berbeda, ikatan ini akan selalu ada.
Karena persahabatan sejati tidak mengenal kata berakhir. Ia hidup dalam
kenangan, tumbuh dalam doa, dan bertahan selama kita nanti tua.
Inilah
persahabatan kami, persahabatan yang tak lekang oleh waktu—karena bagi kami,
sahabat sejati adalah rumah tempat hati selalu bisa pulang. Meski jarak dan waktu yang berubah, kami tetap satu-bersama dalam
persahabatan yang abadi.
Baca dengan lebih seru di Cerpen M. Arya

0 Komentar